Oleh : Mahyudar MD
Di tengah riuh rendah kehidupan modern, kita sering kali lupa bahwa banyak hal yang hari ini kita anggap biasa adalah kemewahan yang dulu mungkin mustahil dibayangkan. Listrik, misalnya. Sejak kita lahir hingga hari ini, mungkin jarang sekali kita harus hidup tanpa cahaya lampu di malam hari. Mesin cuci bekerja tanpa henti mencuci pakaian kita, lemari es menjaga makanan tetap segar, dan gawai kita selalu siap di genggaman karena baterainya terisi penuh. Semua itu menjadi bagian dari rutinitas yang begitu melekat, sampai-sampai kita merasa itu adalah hak yang pasti tersedia, bukan sesuatu yang perlu kita syukuri.
Namun, bayangkan suatu malam, semua itu hilang seketika. Lampu-lampu padam. Listrik terputus. Kegelapan merayap masuk, menelan semua cahaya buatan yang biasanya kita nikmati. Dalam satu jam, dua jam, atau bahkan semalam penuh, rutinitas kita terhenti. Televisi tak bersuara, ponsel kehilangan daya, dan rumah menjadi sunyi. Banyak orang langsung mengeluh, merasa frustrasi, bahkan memaki keadaan. Media sosial penuh dengan ungkapan kesal, seolah kegelapan itu adalah sebuah bencana besar.
Ironisnya, satu malam gelap itu cukup untuk menghapus ribuan malam terang yang telah kita lalui tanpa gangguan. Kita lupa bahwa kemudahan menyalakan sakelar hanyalah buah dari kenyataan bahwa listrik selalu tersedia, setia tanpa kita minta. Kita mengabaikan fakta bahwa kemewahan ini baru menjadi jelas ketika ia diambil dari kita.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui bias negativitas sebuah kecenderungan alami manusia untuk lebih fokus pada kehilangan daripada pada apa yang kita miliki. Pikiran kita lebih mudah mengingat dan bereaksi terhadap satu pengalaman buruk dibandingkan ribuan pengalaman baik. Itulah mengapa kita bisa marah karena macet satu jam, tetapi jarang bersyukur atas perjalanan panjang yang lancar di hari-hari sebelumnya. Kita bisa kesal karena air mati pagi ini, tetapi jarang mengingat betapa berharganya air yang terus mengalir selama bertahun-tahun. Kita bisa terluka karena satu kata kasar dari orang yang kita cintai, tetapi melupakan ribuan kata manis yang pernah ia ucapkan.
Inilah sifat manusia: cepat menuntut, lambat bersyukur. Kita terbiasa dengan kenyamanan, lalu menjadikannya standar yang wajib. Saat standar itu turun sedikit saja, kita merasa kehilangan besar. Padahal, kebahagiaan sejati bukanlah tentang mendapatkan semua yang kita inginkan, melainkan tentang menyadari dan menghargai semua yang sudah kita punya.
Ungkapan, "Orang akan marah satu malam mati lampu dan melupakan semua malam ketika lampu memberi cahaya" adalah potret jujur dari cara kerja hati manusia. Kita lupa bahwa tanpa kegelapan, cahaya akan terasa biasa saja. Justru kegelapan yang memaksa kita menoleh ke belakang, mengingat, dan berkata, “Ternyata selama ini aku telah dimanjakan.”
Mungkin, mati lampu bukan sekadar gangguan. Ia bisa menjadi jeda yang Tuhan berikan, sebuah momen untuk berhenti dan merenung. Kegelapan memaksa kita berbicara lebih lama dengan keluarga, mengobrol tanpa distraksi layar, atau bahkan menatap langit yang selama ini kalah bersaing dengan cahaya buatan. Ia menjadi pengingat bahwa ada banyak hal yang tak boleh kita anggap remeh.
Karena sesungguhnya, cahaya yang paling berharga bukanlah yang menyala di bohlam atau layar gawai, melainkan cahaya kesadaran dalam hati cahaya yang membuat kita menghargai setiap hal kecil, dan mengubah keluhan menjadi rasa syukur. Dan jika kita mampu mempertahankan kesadaran itu bahkan di saat terang, mungkin kita tidak perlu menunggu mati lampu lagi untuk mengingat betapa berharganya cahaya.